Jangan menyapa
Karena aku sedang
berusaha tidak peduli
Aku sedang membuat tembok
tebal
Agar tak mudah
dihancurkan
Kau jangan egois,
hargailah aku
Carilah tembok lain yang
lebih lunak
Dasar menyebalkan
Tetap saja tak mau
mendengar
Bagaimana bisa?
Kau ketuk lagi pintuku
Sejak pertama kita saling kenal,
dipelataran masjid kampus. Aku ingat kau mengenakan kaus bertuliskan “single
lillah” dan aku menggerutu dalam hati “pede banget pake kaus itu, pengen ngasih
tau seluruh dunia kalau kamu single?”. Kemudian kita menjadi satu tim, dalam
proyek tugas perkuliahan yang berasal dari jurusanmu-design dan
jurusanku-bahasa. Aku tidak tahu banyak tentangmu, karena faktanya kita memang
tidak banyak bicara diluar seputar proyek.
Suatu kali saat kita ada
pertemuan, kau baru saja datang dan hendak duduk, hingga tiba-tiba ada seorang
lelaki yang menyapa, kemudian menyalamimu dan kalian berpelukan, erat dan cukup
lama. Aku bahkan bisa melihat ada genangan berkilauan dari mata lelaki tadi.
Aku tidak bertanya, karena aku juga tidak mau tahu. Lagipula buat apa aku tahu?
Hingga saat selesai rapat, semua
hendak kembali ketempat asal masing-masing. Tapi kemudian temanku perempuan,
yang saat itu tinggal kita berdua
membuka percakapan baru. “Dia itu dulunya preman waktu SMA”. Pembuka
percakapan yang cerdas, instingku jadi bergerak ingin tahu, lalu apa ?
Kau, lelaki yang dulunya menjadi
preman dimasa sekolah. Berkali-kali ikut tawuran, keluar masuk ruang BP,
mendapat panggilan orangtua, dihukum. Kau menjadi komandannya. Seperti tidak pernah kapok meski pernah mengalami
terkena bacok dibagian perut, pelipis robek, pundak bergeser, bibir sobek dan kejadian ekstrem lainnya, tidak cukup
untuk menghentikanmu dari hobi tawuranmu dahulu. Hingga sebuah kejadian yang
menjadi titik balikmu, ketika hendak menjelang UN kelas 12, saat yang lain
sibuk mempersiapkan pelajaran, bimbel sana-sini. Kau masih asik mempersiapkan
strategi untuk tawuran penyambutan UN dengan pasukan yang selalu setia
dibelakangmu. Tanpa kau duga, kejadian ini jauh dari prediksi atau strategi
yang sudah kau susun rapi sedemikian rupa. Lawanmu adalah gabungan dari 3
sekolah, beberapa diantaranya adalah anak yang memang jelas pernah melakukan
tindak ‘kriminal’ hingga pernah dimasukkan penjara. Salah seorang diantaranya
tiba-tiba datang dengan membawa sebuah samurai, kemudian menebaskannya tepat
dikepala temanmu, tidak sampai terbelah tapi sobek dari atas hingga sampai
kedahi. Ketika salah satu temanmu yang lain berteriak histeris, seluruh lawanmu
mundur. Kau, yang melihat kejadian itu tidak bergerak sedikitpun sampai seluruh
temanmu menarik-narik bajumu dan mendorongmu kearahnya. Kau masih bisa mendengar
helaan napas terakhirnya, hingga akhirnya dia menutup kedua matanya dan kau,
tiba-tiba tidak bergerak lagi sedikitpun.
Satu sekolah terpukul atas
kejadian itu. Tidak ada yang disalahkan, kepada dirimu ataupun seluruh
teman-temanmu. Hanya pelaku yang membawa samurai itu dibawa ke polisi dan
mendekam dipenjara anak untuk ke-2 kalinya.
Kau secara tiba-tiba tertarik
mengaji dan membaca qur’an setelah sekian tahun lamanya. Persis satu bulan
sebelum UN, kau mulai belajar, meminjam catatan dan mengerjakan soal-soal. Kau
mulai mengikuti kajian dimasjid dekat rumah, berteman dengan ‘anak-anak
mushola’ disekolah dan mulai merutinkan ibadah 5 waktu. Sesekali kawan-kawan
tempurmu mengajak lagi untuk memipin, katanya perpisahan setelah UN. Tapi kau
tidak menggubrisnya sedikitpun, kau seperti sudah membuang jauh-jauh masa
kejayaanmu itu dulu. Lalu lelaki tadi, yang
menyalamimu adalah adik dari temanmu yang meninggal saat itu. Kalian hanya beda
satu tahun dan bersekolah di SMA yang sama. Adiknya yang paling terpukul saat
mengetahui kematian kakaknya. Tidak mau sekolah, bahkan makanpun tidak. Kau dan
dia cukup akrab, tapi dia bukan anggota pasukanmu, dia hanya anak SMA biasa.
Kau yang merasa bersalah, mengunjungi rumahnya setiap Selasa dan Rabu, sepulang
sekolah setelah kelas tambahan untuk ujian. Barang hanya menengok, mengajaknya
bicara, atau mencoba merayunya makan. Kau melakukannya satu bulan penuh hingga
waktu UN tiba. Setelah ujian selesai, kau kerumahnya untuk memberi sepucuk
surat yang mengatakan kau menyesal, meminta maaf dan menyuruhnya untuk berdoa
kepada Allah agar kakaknya diberikan tempat terbaik disisinya. Dan kau bilang
tidak bisa mengunjunginya lagi karena harus melanjutkan persiapan untuk ujian
ke perguruan tinggi.
Lalu sore tadi, adalah pertemuan
kalian pertama sejak setahun lalu, lelaki itu datang sebagai mahasiswa baru
yang dirinya juga tidak tahu keberadaanmu setelah waktu itu.
Pertemuan antara dua lelaki yang
pernah menghabiskan waktu tanpa banyak bicara dan menyesali masa lalu.
…..
Sejak kisahmu hadir, seperti ada
pintu yang diketuk dan aku membukanya lebar agar bisa melihat siapa yang
datang. Situasi yang sangat aku hindari sejak dulu. Tanpa kusadari, aku selalu
berkata bahwa aku tidak peduli padamu dan selalu menutup pintu dengan paksa.
Bukan karena aku jahat, hanya tidak ingin tersakiti oleh sesuatu yang bahkan
aku tidak bisa memastikannya. Aku selalu berusaha yang terbaik untuk bisa
menutup pintunya rapat-rapat.
Hingga dihari wisuda datang,
teman perempuan yang dahulu pernah membuka kisahmu mendatangiku. Dia membuka
ceritanya dengan sangat cerdas lagi, hingga aku tidak tahu harus berkata apa.
“Dia mau mengajakmu ta’aruf”.
Pintu yang kututup,
perlahan-lahan terbuka, sangat perlahan. Dan aku harus mengakui bahwa pintu itu
sesungguhnya tidak pernah tertutup rapat, seutuhnya.
`Hilyah Nafisah
0 comments