Pintu Yang Tak Pernah Terutup rapat

By Hilyah N - October 09, 2017



Jangan menyapa
Karena aku sedang berusaha tidak peduli
Aku sedang membuat tembok tebal
Agar tak mudah dihancurkan
Kau jangan egois, hargailah aku
Carilah tembok lain yang lebih lunak
Dasar menyebalkan
Tetap saja tak mau mendengar
Bagaimana bisa?
Kau ketuk lagi pintuku

Sejak pertama kita saling kenal, dipelataran masjid kampus. Aku ingat kau mengenakan kaus bertuliskan “single lillah” dan aku menggerutu dalam hati “pede banget pake kaus itu, pengen ngasih tau seluruh dunia kalau kamu single?”. Kemudian kita menjadi satu tim, dalam proyek tugas perkuliahan yang berasal dari jurusanmu-design dan jurusanku-bahasa. Aku tidak tahu banyak tentangmu, karena faktanya kita memang tidak banyak bicara diluar seputar proyek.

Suatu kali saat kita ada pertemuan, kau baru saja datang dan hendak duduk, hingga tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyapa, kemudian menyalamimu dan kalian berpelukan, erat dan cukup lama. Aku bahkan bisa melihat ada genangan berkilauan dari mata lelaki tadi. Aku tidak bertanya, karena aku juga tidak mau tahu. Lagipula buat apa aku tahu?

Hingga saat selesai rapat, semua hendak kembali ketempat asal masing-masing. Tapi kemudian temanku perempuan, yang saat itu tinggal kita berdua  membuka percakapan baru. “Dia itu dulunya preman waktu SMA”. Pembuka percakapan yang cerdas, instingku jadi bergerak ingin tahu, lalu apa ?

Kau, lelaki yang dulunya menjadi preman dimasa sekolah. Berkali-kali ikut tawuran, keluar masuk ruang BP, mendapat panggilan orangtua, dihukum. Kau menjadi komandannya. Seperti  tidak pernah kapok meski pernah mengalami terkena bacok dibagian perut, pelipis robek, pundak bergeser, bibir sobek  dan kejadian ekstrem lainnya, tidak cukup untuk menghentikanmu dari hobi tawuranmu dahulu. Hingga sebuah kejadian yang menjadi titik balikmu, ketika hendak menjelang UN kelas 12, saat yang lain sibuk mempersiapkan pelajaran, bimbel sana-sini. Kau masih asik mempersiapkan strategi untuk tawuran penyambutan UN dengan pasukan yang selalu setia dibelakangmu. Tanpa kau duga, kejadian ini jauh dari prediksi atau strategi yang sudah kau susun rapi sedemikian rupa. Lawanmu adalah gabungan dari 3 sekolah, beberapa diantaranya adalah anak yang memang jelas pernah melakukan tindak ‘kriminal’ hingga pernah dimasukkan penjara. Salah seorang diantaranya tiba-tiba datang dengan membawa sebuah samurai, kemudian menebaskannya tepat dikepala temanmu, tidak sampai terbelah tapi sobek dari atas hingga sampai kedahi. Ketika salah satu temanmu yang lain berteriak histeris, seluruh lawanmu mundur. Kau, yang melihat kejadian itu tidak bergerak sedikitpun sampai seluruh temanmu menarik-narik bajumu dan mendorongmu kearahnya. Kau masih bisa mendengar helaan napas terakhirnya, hingga akhirnya dia menutup kedua matanya dan kau, tiba-tiba tidak bergerak lagi sedikitpun.

Satu sekolah terpukul atas kejadian itu. Tidak ada yang disalahkan, kepada dirimu ataupun seluruh teman-temanmu. Hanya pelaku yang membawa samurai itu dibawa ke polisi dan mendekam dipenjara anak untuk ke-2 kalinya.

Kau secara tiba-tiba tertarik mengaji dan membaca qur’an setelah sekian tahun lamanya. Persis satu bulan sebelum UN, kau mulai belajar, meminjam catatan dan mengerjakan soal-soal. Kau mulai mengikuti kajian dimasjid dekat rumah, berteman dengan ‘anak-anak mushola’ disekolah dan mulai merutinkan ibadah 5 waktu. Sesekali kawan-kawan tempurmu mengajak lagi untuk memipin, katanya perpisahan setelah UN. Tapi kau tidak menggubrisnya sedikitpun, kau seperti sudah membuang jauh-jauh masa kejayaanmu itu dulu. Lalu lelaki tadi, yang menyalamimu adalah adik dari temanmu yang meninggal saat itu. Kalian hanya beda satu tahun dan bersekolah di SMA yang sama. Adiknya yang paling terpukul saat mengetahui kematian kakaknya. Tidak mau sekolah, bahkan makanpun tidak. Kau dan dia cukup akrab, tapi dia bukan anggota pasukanmu, dia hanya anak SMA biasa. Kau yang merasa bersalah, mengunjungi rumahnya setiap Selasa dan Rabu, sepulang sekolah setelah kelas tambahan untuk ujian. Barang hanya menengok, mengajaknya bicara, atau mencoba merayunya makan. Kau melakukannya satu bulan penuh hingga waktu UN tiba. Setelah ujian selesai, kau kerumahnya untuk memberi sepucuk surat yang mengatakan kau menyesal, meminta maaf dan menyuruhnya untuk berdoa kepada Allah agar kakaknya diberikan tempat terbaik disisinya. Dan kau bilang tidak bisa mengunjunginya lagi karena harus melanjutkan persiapan untuk ujian ke perguruan tinggi.

Lalu sore tadi, adalah pertemuan kalian pertama sejak setahun lalu, lelaki itu datang sebagai mahasiswa baru yang dirinya juga tidak tahu keberadaanmu setelah waktu itu.
Pertemuan antara dua lelaki yang pernah menghabiskan waktu tanpa banyak bicara dan menyesali masa lalu.

…..

Sejak kisahmu hadir, seperti ada pintu yang diketuk dan aku membukanya lebar agar bisa melihat siapa yang datang. Situasi yang sangat aku hindari sejak dulu. Tanpa kusadari, aku selalu berkata bahwa aku tidak peduli padamu dan selalu menutup pintu dengan paksa. Bukan karena aku jahat, hanya tidak ingin tersakiti oleh sesuatu yang bahkan aku tidak bisa memastikannya. Aku selalu berusaha yang terbaik untuk bisa menutup pintunya rapat-rapat.
Hingga dihari wisuda datang, teman perempuan yang dahulu pernah membuka kisahmu mendatangiku. Dia membuka ceritanya dengan sangat cerdas lagi, hingga aku tidak tahu harus berkata apa.

“Dia mau mengajakmu ta’aruf”.

Pintu yang kututup, perlahan-lahan terbuka, sangat perlahan. Dan aku harus mengakui bahwa pintu itu sesungguhnya tidak pernah tertutup rapat, seutuhnya.



`Hilyah Nafisah

  • Share:

You Might Also Like

0 comments