Ketika
tingkatan seseorang hanya dinilai dengan kesibukan
Tak akan ada
yang menjadi pemerhati mereka yang kurang dalam ilmu dan pemahaman
Ketika
tingkatan seseorang hanya dinilai dengan angka
Akan menjadi
bumerang batin dan mengabaikan kewajiban sesungguhnya
Ketika
tingkatan seseorang hanya dinilai lewat ibadah
Takkan ada
profesor, doktor dan macamnya disemesta ini
Menghirup
kembali aroma segar embun dipagi hari
Menatap
kembali hamparan lagit putih, biru, kelabu bertintakan awan gembul seperti
kapas
Menapaki
lagi jalan-jalan bekas para pengayuh ilmu
Meraba lagi
bait-bait eja kata yang berserakan dalam jendela dunia
Keindahan
yang terpancar dalam derai nafas berkeringat lelah
Beresonansinya
nada-nada ahsan dari bibir para pejuang
Berkontraksinya
saraf dan otot dari sebuah rasa tentang kepedulian
Bukan lagi
masa belajar teologi
Tapi,
bagaimana saat ini cerdas berjual beli dengan Tuhan
24 jam,
kanvas putih yang tersedia untuk dilumuri
Ditaburi
dengan senyuman dan manfaat pada setiap insan
Keterbatasannya
membuat diri menyadari bahwa kita amat lemah
Anggapan
banyaknya peluang, menjadikan keterlenaan berlebih akan ruang
Lagi-lagi
amanah
Yang menyita
banyak waktu untuk hal-hal lainnya
Karena
amanah, banyak pundak-pundak yang semakin tegar
Karena amanah,
banyak kedewasaan lahir setelahnya
Tapi, karena
amanah
Banyak dari
mereka yang berdalih untuk tidak mengerjakan yang lainnya
Mereka
bilang “maaf, aku sibuk”
“maaf, ga sempet”
“aduh,
bingung bagi waktunya. Udah buat yang ini soalnya”
Jika mau
menoleh ke lainnya
Kewajiban
mengejar angka pun tak boleh tertinggal
Bukanlah
alasan karena amanah, tak bisa mengejar
Bukankah ini
bersangkutan dengan amanah pula?
Amanah dari
dua pasang sayap yang senantiasa menunggu
Menunggu
keberhasilan kita
Menunggu
kesuksesan kita
Menunggu
melihat kita tumbuh dan menjelma menjadi “seseorang”
Tak jarang
lisanpun berucap “maaf nih kecapean, jadi kelewat tahajud sama subuhnya”
Coba berkaca
sekali lagi
Siapa kita?
Pantaskah?
Menjadikan
kesibukan sebagai alasan
Alasan yang..
klise menurutku
Mungkin
dipandang manusia kau hebat, tangguh dan luar biasa
Tapi
cukupkah pandangan dari mereka yang ruhnya pun dibilang tak abadi?
Berkacalah
lagi
Luapan emosi
terdalam ketika iman sedang menjulang
Ketakutan
yang teramat takut jika kita diabaikan
Bukan oleh
manusia
Tapi oleh
Tuhan yang mencipta
Yang
menjadikan kita kuat dan berdaya
Melihat
kearah nun jauh disana
Banyak
pribadi mandiri yang berhasil terlepas dari dilema
Bukan karena
mereka hebat
Justru
karena mereka lemah dan tak berdaya
Saat malam
sedang syahdunya meninabobokan
Mereka
bangun dan mengapelkan dirinya dihadapan Tuhan
Mengadukan
ketakberdayaan mereka
Dan
menjadikan jidat dan lututnya, modal
keteguhan mereka
Sudah,
Manakala
kerisauan melanda akan terabaikannya sebuah kewajiban
Berdo’alah
Untuk
dipandaikan dalam mengatur
Untuk
ditegaskan dalam prioritas
Untuk
dikuatkan dalam memikul
Untuk
dimampukan dalam menjalankan
Untuk
dicukupkan dalam keperluan
Untuk
dilindungi dalam kebinasaan
Saat
keseimbangan telah digenggam
Tunggulah
kemenangan yang akan kau dapat
Tunggulah
perjanjian yang akan dikabulkan
Tunggulah
pertemuan yang telah direncanakan
Semoga
Allah, senantiasa menempatkan kita
Pada posisi
dimana akal sehat kita bisa digunakan
Dan nafsu,
dapat dikendalikan
Ya Allah
yang hidupku ada dalam genggamannya
Jauhkanlah
kami, dari keangkuhan dan kesombongan
Depok, 26 Desember 2014
`Hilyah Nafisah
0 comments