Aku terjatuh,
sial. Lagi-lagi tubuh lemahku ini tak bisa memberikanku ruang sedikitpun untuk
membuatku bergerak bebas. Lihat, aku benci tatapan mereka itu. Tatapan penuh
rasa kasihan yang membuatku terlihat menjadi orang paling tidak berguna yang
ada. Lagi-lagi cuma merengut dalam hati dan meringkih kesakitan yang bisa
kulakukan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku kembali berdiri dan menepis
semua tangan yang mencoba meraihku, meraih tongkatku. Bukan maksudku bersikap
sombong sebagai orang cacat yang hanya memiliki sebelah kaki, tapi aku hanya
mencoba menghapus pikiran dalam benak mereka, aku juga bisa berdiri sendiri
tanpa ada seorang penolongpun yang berarti.
“sini..”
Dia datang, tiba-tiba
mengambil tongkatku dan membopongku kearah koridor, tanpa mengucapkan satu
patah katapun dia terus membawaku tanpa melepaskan beban berat yang sedang
dibopongnya saat ini. Mau apa dia? hey
kau mau bawa aku kemana?...... UKS?
“maaf, aku pergi dulu. Lebih baik cepat kau obati lukamu “
“eh..” belum sempat aku berkata-kata dia sudah menghilang dari
pandanganku. Apa kata dia barusan? luka?
dimana?
“yaampun.. kau habis melakukan apa? lihat kakimu berdarah, rokmu
sampai robek begini”
“aah.. hmm anu, nnn.. entahlah, aku tidak merasakannya”
“kau ini, jangan benci pada dirimu sendiri, kau masih punya banyak
tubuh utuh yang mesti kau sayangi.. sini, biar ibu obatin!”
“iya bu, makasih” aku tersenyum ketir pada ibu perawat di ruang UKS
SMAku ini. dan… laki-laki tadi. Ah, dia begitu dingin. belum sempat kuucapkan
terimakasih dia sudah beranjak pergi. Hanya dia yang mampu membuatku tak bisa
berkata-kata. Tapi luka iniii… Sungguh amat bodoh diriku. Luka yang terlihat
saja tak dapat kurasakan? maaf aku memang tidak berguna.
Ketika aku
berseragam putih biru, aku mengalami sebuah tragedi, ya! tragedi yang membuatku
kehilangan satu kakiku ini. seorang kakek yang sedang berjalan ditengah malam
terlihat tergesa-gesa membawa seorang anak dalam punggungnya. Peluh keringat
yang terlihat dibawah sinar rembulan tak bisa menahan diriku untuk bertanya
“kek, mau kemana malam-malam? kakek kayanya terburu-buru”
“cucu kakek, cucu kakek .. kakek mau kerumah sakit, kok ngga ada
mobil yang lewat?”
“sebentar kek, aku bantu carikan”
Aku melihat
kesepanjang jalan raya. Sepi. Tak satupun nampak kendaraan melewati kami. Aku
terdiam, kakek itu semakin gusar, dia berjalan menjauh bahkan setengah
berlari menurutku. Sebuah sorot lampu
menyilaukan dari belakangku, sebuah sepeda motor melintas dan berhenti tepat
dimana aku berdiri ditengah jalan yang kosong. Tanpa basa-basi aku
menghampirinya..
“mas, tolong mas.. kakek itu cucunya sakit, sepertinya parah. tolong
antarkan sejenak kerumah sakit” aku memandangnya dan memohon. Tak jelas wajah
orang itu, aku tak peduli yang terpenting dia memilki hati mulia untuk membantu
Aku dan dia
menghampiri kakek yang telah berjalan cukup jauh dari kami, aku turun,
membiarkan kakek menaiki motor bersamanya. Mereka beranjak pergi belum sampai
cukup jauh, tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang tak bisa mengendalikan
kendalinya menabrakku. Menabrakku yang
masih berdiri terpatung di tengah jalan .
Ckiiiiitttt..Bruuuggg!
Aku terjatuh,
terpental cukup jauh, aku bisa merasakan darah hangat mengalir dari pelipisku,
aku masih sadar.
“Kau tak apa-apa? aku antar kau kerumah sakit sekarang “
“tidak, tidak perlu, kau antar kakek itu dulu, baru kau mengantarku.
cepaat! cucunya sakit parah” teriakku padanya. Orang yang hendak mengantarkan
kakek tadi kerumah sakit
“Kau… keras kepala!”
Aku masih
sedikit tersadar. Kulihat dia berhasil menghentikan mobil yang melewati kami, dia memasukkanku ke mobil itu, kemudian
pergi.
Aku tersadar
dirumah sakit, kedua orangtua ku disampingku dan seseorang yang kukira seumuran
denganku berada disana juga. Ibu menangis, Ayah menatapku dalam. AKu tak tahu
apa yang terjadi, aku… tadi pingsan.
“hey, kakek tadi gimana? cucunya baik-baik saja?” aku berkata pada
orang yang menjadi penolong malam itu.
“iya baik-baik saja… bodoh”
kalimat terakhir terdengar samar ditelingaku tapi aku masih bisa menangkapnya
Setelah itu aku
tersadar, aku tidak bisa meraskan apapun pada kaki kiriku dan aku
mengetahuinya, bahwa aku, telah kehilangan satu kakiku! Aku menangis histeris,
meraung-raung menarik baju kedua orangtuaku. Aku marah, aku terlalu marah pada
diriku yang menyebabkan semua ini.
Suara langkah
kaki seseorang mendekat, menunduk melihatku yang sedang menangis meraung-raung.
Tak berani berbicara, tapi aku tidak tega padanya dan akhirnya dia bicara..
“Te, te, terimakasih Nak. Berkatmu, cucu kakek bisa diselamatkan.
Dia sekarang ada diruang ICU”
Aku menatapnya,
masih dengan air mata yang tetap mengalir. Tak kubalas ucapannya. Sesungguhnya
aku bersyukur, tapi semua kejadian ini membuat pikiranku begitu rumit, aku tak
mengerti apa yang sedang kualami. Siapa yang bersalah dan siapa yang harus
disalahkan? siapa yang kemudian menjadi korban? aku merasa akan gila
memikirkannya.
Hari-hari
kulewati dengan kekosongan jiwa, tak ada gairah hidup lagi yang kurasakan. Aku
hanya bisa menatap kosong kearah jendela kamarku. Dua hari sekali juga,
seseorang menengokku dijam yang sama. Tak pernah satu haripun dia berhenti dari
jadwal rutinnya hingga aku keluar rumah sakit.
Seorang
laki-laki polos yang tak bicara ketika menjengukku, tak banyak berkata-kata
saat mengajakku keluar halaman rumah sakit. Seseorang yang bisa menenangkanku
dengan menggenggam tanganku saat aku gemetar dijenguk oleh sang kakek dan
cucunya yang hendak keluar rumah sakit. Lagi-lagi mengucapkan terimakasih, anak
itu memberi bunga. Aku masih kelu.
Sungguh menyakitkan
jika mengingat kejadian itu. Mungkin saat ini, aku masih tak bisa menerima
diriku yang terlanjur cacat! tapi yang kutahu, aku masih belum bisa mengakhiri
hidupku dengan berbuat konyol, karena aku masih berhutang kebaikan dari
laki-laki yang setia menemaniku tiga tahun belakangan ini. Satu-satunya orang
yang tak mengeluh berada disampingku. Meraihku dengan ketulusan yang dia
berikan. Merangkulku dengan kehangatan meski tetap terasa dingin buatku.
Dia, yang menjadikan
dirinya alasan bagiku untuk hidup. Satu-satunya syukurku atas kejadian
mengerikan itu. Setiap kasih yang dia berikan, setiap senyum yang dia lemparkan
dan setiap usapan lembut yang mampu menenangkan dan meredam kemarahan hati
seorang gadis.
Hati… yang terlanjur hancur
dan menghitam, yang mampu terkikis sedikit demi sedikit, oleh secarik kasih…
yang penuh ketulusan.
`Hilyah Nafisah
0 comments