SECARIK KASIH

By Unknown - January 14, 2015




             Aku terjatuh, sial. Lagi-lagi tubuh lemahku ini tak bisa memberikanku ruang sedikitpun untuk membuatku bergerak bebas. Lihat, aku benci tatapan mereka itu. Tatapan penuh rasa kasihan yang membuatku terlihat menjadi orang paling tidak berguna yang ada. Lagi-lagi cuma merengut dalam hati dan meringkih kesakitan yang bisa kulakukan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku kembali berdiri dan menepis semua tangan yang mencoba meraihku, meraih tongkatku. Bukan maksudku bersikap sombong sebagai orang cacat yang hanya memiliki sebelah kaki, tapi aku hanya mencoba menghapus pikiran dalam benak mereka, aku juga bisa berdiri sendiri tanpa ada seorang penolongpun yang berarti.
“sini..”
        Dia datang, tiba-tiba mengambil tongkatku dan membopongku kearah koridor, tanpa mengucapkan satu patah katapun dia terus membawaku tanpa melepaskan beban berat yang sedang dibopongnya saat ini. Mau apa dia? hey kau mau bawa aku kemana?...... UKS?
“maaf, aku pergi dulu. Lebih baik cepat kau obati lukamu “
“eh..” belum sempat aku berkata-kata dia sudah menghilang dari pandanganku. Apa kata dia barusan? luka? dimana?
“yaampun.. kau habis melakukan apa? lihat kakimu berdarah, rokmu sampai robek begini”
“aah.. hmm anu, nnn.. entahlah, aku tidak merasakannya”
“kau ini, jangan benci pada dirimu sendiri, kau masih punya banyak tubuh utuh yang mesti kau sayangi.. sini, biar ibu obatin!”
“iya bu, makasih” aku tersenyum ketir pada ibu perawat di ruang UKS SMAku ini. dan… laki-laki tadi. Ah, dia begitu dingin. belum sempat kuucapkan terimakasih dia sudah beranjak pergi. Hanya dia yang mampu membuatku tak bisa berkata-kata. Tapi luka iniii… Sungguh amat bodoh diriku. Luka yang terlihat saja tak dapat kurasakan? maaf aku memang tidak berguna.
            Ketika aku berseragam putih biru, aku mengalami sebuah tragedi, ya! tragedi yang membuatku kehilangan satu kakiku ini. seorang kakek yang sedang berjalan ditengah malam terlihat tergesa-gesa membawa seorang anak dalam punggungnya. Peluh keringat yang terlihat dibawah sinar rembulan tak bisa menahan diriku untuk bertanya
“kek, mau kemana malam-malam? kakek kayanya terburu-buru”
“cucu kakek, cucu kakek .. kakek mau kerumah sakit, kok ngga ada mobil yang lewat?”
“sebentar kek, aku bantu carikan”
                Aku melihat kesepanjang jalan raya. Sepi. Tak satupun nampak kendaraan melewati kami. Aku terdiam, kakek itu semakin gusar, dia berjalan menjauh bahkan setengah berlari  menurutku. Sebuah sorot lampu menyilaukan dari belakangku, sebuah sepeda motor melintas dan berhenti tepat dimana aku berdiri ditengah jalan yang kosong. Tanpa basa-basi aku menghampirinya..
“mas, tolong mas.. kakek itu cucunya sakit, sepertinya parah. tolong antarkan sejenak kerumah sakit” aku memandangnya dan memohon. Tak jelas wajah orang itu, aku tak peduli yang terpenting dia memilki hati mulia untuk membantu
        Aku dan dia menghampiri kakek yang telah berjalan cukup jauh dari kami, aku turun, membiarkan kakek menaiki motor bersamanya. Mereka beranjak pergi belum sampai cukup jauh, tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang tak bisa mengendalikan kendalinya menabrakku. Menabrakku  yang masih berdiri terpatung di tengah jalan .
Ckiiiiitttt..Bruuuggg!
              Aku terjatuh, terpental cukup jauh, aku bisa merasakan darah hangat mengalir dari pelipisku, aku masih sadar.
“Kau tak apa-apa? aku antar kau kerumah sakit sekarang “
“tidak, tidak perlu, kau antar kakek itu dulu, baru kau mengantarku. cepaat! cucunya sakit parah” teriakku padanya. Orang yang hendak mengantarkan kakek tadi kerumah sakit
“Kau… keras kepala!”
            Aku masih sedikit tersadar. Kulihat dia berhasil menghentikan mobil yang melewati  kami, dia memasukkanku ke mobil itu, kemudian pergi.
       Aku tersadar dirumah sakit, kedua orangtua ku disampingku dan seseorang yang kukira seumuran denganku berada disana juga. Ibu menangis, Ayah menatapku dalam. AKu tak tahu apa yang terjadi, aku… tadi pingsan.
“hey, kakek tadi gimana? cucunya baik-baik saja?” aku berkata pada orang yang menjadi penolong malam itu.
“iya baik-baik saja… bodoh” kalimat terakhir terdengar samar ditelingaku tapi aku masih bisa menangkapnya
                Setelah itu aku tersadar, aku tidak bisa meraskan apapun pada kaki kiriku dan aku mengetahuinya, bahwa aku, telah kehilangan satu kakiku! Aku menangis histeris, meraung-raung menarik baju kedua orangtuaku. Aku marah, aku terlalu marah pada diriku yang menyebabkan semua ini.
          Suara langkah kaki seseorang mendekat, menunduk melihatku yang sedang menangis meraung-raung. Tak berani berbicara, tapi aku tidak tega padanya dan akhirnya dia bicara..
“Te, te, terimakasih Nak. Berkatmu, cucu kakek bisa diselamatkan. Dia sekarang ada diruang ICU”
           Aku menatapnya, masih dengan air mata yang tetap mengalir. Tak kubalas ucapannya. Sesungguhnya aku bersyukur, tapi semua kejadian ini membuat pikiranku begitu rumit, aku tak mengerti apa yang sedang kualami. Siapa yang bersalah dan siapa yang harus disalahkan? siapa yang kemudian menjadi korban? aku merasa akan gila memikirkannya.
                Hari-hari kulewati dengan kekosongan jiwa, tak ada gairah hidup lagi yang kurasakan. Aku hanya bisa menatap kosong kearah jendela kamarku. Dua hari sekali juga, seseorang menengokku dijam yang sama. Tak pernah satu haripun dia berhenti dari jadwal rutinnya hingga aku keluar rumah sakit.
                Seorang laki-laki polos yang tak bicara ketika menjengukku, tak banyak berkata-kata saat mengajakku keluar halaman rumah sakit. Seseorang yang bisa menenangkanku dengan menggenggam tanganku saat aku gemetar dijenguk oleh sang kakek dan cucunya yang hendak keluar rumah sakit. Lagi-lagi mengucapkan terimakasih, anak itu memberi bunga. Aku masih kelu.
             Sungguh menyakitkan jika mengingat kejadian itu. Mungkin saat ini, aku masih tak bisa menerima diriku yang terlanjur cacat! tapi yang kutahu, aku masih belum bisa mengakhiri hidupku dengan berbuat konyol, karena aku masih berhutang kebaikan dari laki-laki yang setia menemaniku tiga tahun belakangan ini. Satu-satunya orang yang tak mengeluh berada disampingku. Meraihku dengan ketulusan yang dia berikan. Merangkulku dengan kehangatan meski tetap terasa dingin buatku.
             Dia, yang menjadikan dirinya alasan bagiku untuk hidup. Satu-satunya syukurku atas kejadian mengerikan itu. Setiap kasih yang dia berikan, setiap senyum yang dia lemparkan dan setiap usapan lembut yang mampu menenangkan dan meredam kemarahan hati seorang gadis.

Hati… yang terlanjur hancur dan menghitam, yang mampu terkikis sedikit demi sedikit, oleh secarik kasih… yang penuh ketulusan.


`Hilyah Nafisah

  • Share:

You Might Also Like

0 comments